Pages

Friday 30 January 2009

Wedding or Marriage?

Wedding or Marriage?
as published in herworld magazine, Dec 2008


Serupa namun tak sama. Mewakili kaum yang “tertindas”, DANIEL CASSIDY mempertanyakan kenapa perempuan berubah menjadi begitu perfeksionis dan serbarumit saat menghadapi pesta pernikahan.

Dalam beberapa bulan ke depan, saya harus mengurusi salah satu hal yang selalu menjadi masalah besar bagi saya dan sebagian besar teman teman pria saya selama ini, yaitu upacara pernikahan. Walaupun pernikahan ini adalah pernikahan adik perempuan saya, tapi tetap saja kami dari pihak keluarga perempuan menjadi pihak yang paling dipusingkan untuk mengatur hampir semua hal besar sampai perintilan paling kecil. Biarpun pernikahannya sendiri masih akan berlangsung setengah tahun lagi, tapi kami sekeluarga harus terlibat secara aktif membantu adik saya itu. Kalau tidak, tentunya intimidasi tidak hanya akan datang dari dia, tapi dari ibu saya yang akan mem-back-up 100%.

Saya dan teman teman saya sepakat bahwa perempuan memiliki obsesi yang berlebihan dengan masalah pernikahan. Malah cenderung kepada obsesif kompulsif. Beberapa teman perempuan kami ada yang secara terus terang mengakui bahwa mereka sudah merencanakan upacara pernikahannya sejak duduk di bangku Sekolah Dasar! Luar biasa sekali. Seingat saya, ummm… semasa SD yang ada di otak saya hanya kelereng dan layangan! Hahaha… Sementara ketika dewasa, untuk urusan pernikahan sebagian besar dari kami, kaum lelaki tidak pernah berpikir apa saja yang harus dipersiapkan untuk pernikahan selain uang cash sampai waktunya sudah mepet ke tanggal pernikahan.

Salah seorang teman saya pernah mengeluh mengenai calon suaminya yang juga teman baik saya sebulan sebelum upacara pernikahan digelar. Dia bilang “Gimana sih temen lu, masa’ semua urusan kawinan ini gue yang ngurusin? Mulai dari cincin kawin, ini, itu, bla… bla… bla…” Sebagai teman yang baik, tentunya saya menghibur dia dengan berkata “Makanya, enggak usah yang ribet-ribet. Cincin kawin beli aja di toko itu, acara kawinan lu tinggal bayar EO, beres kan?” Saya kurang mengerti kenapa setelah itu dia langsung pergi meninggalkan break area kantor kami dan langsung kembali ke mejanya tanpa bicara.

Yang menjadi pertanyaan besar bagi kami, kenapa upacara pernikahan harus dibuat seribet mungkin dan melibatkan hampir semua keluarga besar dari kedua belah pihak? Sudah tahu sendiri kan, makin banyak kepala jadinya makin runsing (itu ungkapan keluarga saya untuk rumit, runyam, dan pusing!). Kenapa upacara pernikahan dan resepsi yang memakan biaya sangat mahal itu tidak bisa diubah menjadi simpel dengan membuatnya sebagai pertemuan resmi dua keluarga besar dan acara utama adalah pengucapan akad nikah serta penandatanganan akta pernikahan oleh kedua mempelai? Tentunya bila di akhir acara akan ada makan bersama sebagai tanda suka cita dan diiringi sebuah band sebagai penghibur masih masuk dalam batas toleransi kami.

Ada yang berpendapat bahwa upacara rumit, mahal, ribet dan sangat merepotkan itu untuk memberi efek jera pada kedua mempelai, agar mereka berpikir seribu kali sebelum memutuskan untuk bercerai dan menikah lagi dengan mengulangi semua kerepotan yang ada. Tapi, menurut saya alasan itu tentu tidak akan cukup kuat, karena cukup banyak orang yang ternyata punya hobi kawin-cerai. Bahkan banyak pula yang doyan poligami. Untuk mendapatkan kenikmatan “tertentu”, kebanyakan kaum saya enggak ampuh deh kalau cuma “dikapokin” dengan pesta perkawinan ribet doang!

Sekarang ini sudah banyak event organizer yang memiliki spesialisai meringankan sebagian besar kerunsingan menuju upacara pernikahan. Tapi, menurut kami, event organizer itu hanya memberi kesempatan bagi perempuan untuk lebih memperumit masalah menuju upacara pernikahan itu sendiri. Mungkin karena sudah tidak perlu memikirkan persiapan makanan, tempat dan acara, maka hal-hal sepele jadi bisa di-expose untuk menjadi masalah besar. Seperti cindera mata, baju pager ayu, pager bagus, pager betis, dan pager-pager lainnya. Belum lagi dekorasi bunga, bentuk kancing jas pengantin pria, sampai bentuk huruf alamat dalam undangan. Saya pernah melihat seorang perempuan memarahi pasangannya di tempat memesan kartu undangan karena sang laki-laki tampak tak peduli dengan pemilihan bentuk hurufnya. Omelan yang terdengar “Kamu gimana sih, memangnya undangan ini enggak penting ya? Kalo gitu enggak usah bikin undangan aja!” Saya yakin 100% sang laki-laki di dalam hati langsung setuju dengan kalimat terakhir itu, meski di luarnya tak berani berkata apapun dan hanya berakting pura-pura bahwa dia tertarik pada si kartu undangan hahaha.... Bagi kami, mengantar pergi ke tempat pemesanan undangan sudah merupakan effort yang cukup banyak. Kenapa sampai harus memilih bentuk huruf segala? Belum lagi list dan alamat tamu undangan yang harus dibuat dalam waktu singkat. Wah, pusing sekali pastinya. Kenapa tidak memanfaatkan teknologi canggih seperti SMS, MMS, dan email?

Teman perempuan saya yang belum menikah pernah berkata bahwa dia ingin upacara pernikahannya melibatkan upacara adat seperti siraman, seserahan dll. Alasannya, adalah “Biar lebih kerasa kawinannya gitu lho. Masa’ cuma berdiri doang salam-salaman di panggung. Kayak pejabat yang cari sensasi saja.” Mendengar hal itu saya jadi berpikir, yang lebih penting sebenarnya upacara pernikahan atau kehidupan berumah tangga? Wedding or marriage? Bukannya nanti tantangan sebenarnya justru menunggu usai upacara selesai? Bagaimana agar pernikahan bisa berjalan aman, damai, sentosa, awet rajet bak kakek-nenek kita dulu.

Entahlah, semua orang tentunya punya orientasi sendiri-sendiri. Semoga saja upacara pernikahan superribet itu tidak akan menghasilkan kehidupan rumah tangga yang berumur pendek. Kalau saya pribadi sih berharap upacara pernikahan nan mahal itu bisa balik modal dari angpao, hahaha…

No comments:

Post a Comment