Pages

Friday 30 January 2009

Bos perempuan

Bos perempuan


Sejak kecil, saya sering mendengar kata emansipasi, feminis, persamaan hak dan lain lain yang berhubungan sama perempuan. Kalau dulu saya tidak peduli, sejak masuk dunia kerja tampaknya saya harus mulai memikirkan hal itu. Bukan hanya memikirkan, tetapi juga mempraktekannya langsung. Karena tidak semua teman kerja saya adalah laki-laki. Bahkan pernah pada suatu masa saya memiliki seorang bos perempuan! Banyak pria yang tidak menyukai hal itu. Bisa jadi karena masalah harga diri sebagai lelaki yang ditindas perempuan, atau juga karena banyaknya perbedaan sudut pandang.

Mari kita persempit pembicaraan ini menjadi pembicaraan mengenai bos perempuan. Pada waktu saya bekerja di tempat yang bos-nya adalah laki-laki, saya tidak pernah memikirkan apa untung ruginya apabila bos saya perempuan. Tapi setelah mengalaminya sendiri, ternyata tidak mudah ya. Karena pada waktu saya memiliki bos perempuan, kebetulan divisi kami adalah divisi yang mayoritas dihuni oleh laki-laki. Dan bukan sembarang laki-laki, tapi umumnya laki-laki petarung yang harus siap diadu dan bersaing dengan perusahaan kompetitor selama 24 jam sehari (dalam hal hasil akhir tentunya). Dan jam kerja kantor kami memang 24 jam sehari dengan deadline hampir setiap saat! Jadi harap dimaklumi lah kalau kantor kami terlihat jauh dari kesan rapi dan teratur. Sebagai perbandingan, flow di kantor kami sepintas seperti ruang senat ketika menjelang puncak acara inagurasi (24 jam sehari, semua orang sibuk, ada yang berteriak, ada yang bengong, ada yang tertidur kecapekan dll).

Apa keuntungan dengan ditunjuknya bos perempuan di divisi kami? Kantor jadi terlihat lebih rapi, itu pasti. Perempuan mana tahan melihat tas, jaket, sepatu dan orang tertidur kelelahan yang berceceran di berbagai sudut ruangan kan? Selain itu, detail hasil akhir sangat diperhatikan. Kesalahan warna sedikit saja bisa menjadi masalah besar, padahal kami sebagai laki-laki umumnya tidak terlalu peduli apa bedanya antara hijau tosca dengan hijau daun, atau kuning telor dengan kuning gading. Selama warna itu berbeda dengan merah, hehe.
Selain adanya keuntungan, kerugian juga dipastikan ada dong. Salah satunya adalah kualitas produk. Menurut saya, karena terlalu berlebihan pada detail, seringkali tujuan besarnya tidak tercapai. Apabila lebih banyak orang yang menyukai produk itu, seharusnya lebih baik kan? Bukan hanya terlihat lebih rapi atau warnanya lebih matching.

Kerugian lain dari memiliki bos perempuan di kantor kami pada waktu itu adalah terjadinya jarak yang sangat signifikan antara atasan dengan bawahan. Hal itu jarang terjadi di perusahaan lain dengan bos laki-laki yang pernah mempekerjakan saya. Walaupun ada garis komando yang jelas dalam pekerjaan rutin. Tapi pada waktu santai umumnya para bos pria itu bisa berbaur dengan hampir semua bawahannya termasuk posisi yang paling bawah dalam rantai komando. Batasan antara atasan dan bawahan pada waktu itu menjadi sangat tipis, kami bisa melupakan sejenak beban kerja sehari-hari dan bisa ‘menarik’ bos pada posisi kami dengan materi pembicaraan yang sangat berbeda dari materi kantor. Pada waktu saya memiliki bos perempuan, dia tidak bisa berbaur dengan kami tanpa ‘membawa’ pekerjaan. Selalu ada ‘pagar’ antara kami dengan sang bos. Pergaulannya pun seakan akan hanya mau dengan 2 sampai 3 lapis rantai komando saja di bawahnya. Padahal rantai komando yang dia kuasai cukup panjang, bisa sampai 7 lapis.

Tapi itu di kantor lama saya yang mayoritas laki-laki. Berbeda dengan kantor teman saya yang mayoritas perempuan. Menurutnya, bos perempuan di kantor yang mayoritas perempuan hanyalah mencari masalah. Karena bagus atau tidak dia dalam pekerjaanya, hampir dipastikan dia akan menjadi bulan-bulanan celaan dan hujatan dari para anak buah perempuan (secara diam-diam tentunya). Menjadi semacam black campaign untuk menjatuhkan wibawa sang bos. Padahal kalau sang provokator campaign itu ditunjuk menjadi bos juga kemungkinan besar dia tidak akan bisa perform lebih baik dari si bos. Sementara kalau di kantor yang mayoritas perempuan dengan bos pria, maka skenarionya akan berbeda. Yang pertama akan ada perlombaan menarik simpati si bos (bisa sampai melibatkan sex), atau hanya menurut pada perintah2 si bos. Pada beberapa kasus ada juga anak buah perempuan yang mengusahakan ‘kudeta’ dengan meloncat ke bos-nya si bos.

Apapun konflik yang terjadi, adanya perempuan di kantor baik sebagai bos ataupun sebagai rekan kerja sudah member warna tersendiri di dalam suasana kantor. Mengenai masalah emansipasi, feminism dll, itu sih tidak pernah menjadi masalah yang mengganggu pikiran saya. Yang mengganggu saya hanyalah masalah timing. Sebagai bos ataupun bukan, selalu ada minimal 3 hari dalam sebulan dimana kami para laki laki harus menghindari para perempuan itu. Bukannya kenapa kenapa, PMS (masa masa sebelum atau setelah menstruasi) membuat perempuan menjadi lebih ganas dari singa lapar, hahahaha.

No comments:

Post a Comment