Pages

Thursday, 20 August 2009

note dari www.lib.ui.ac.id

Lg cari2 referensi, nemu www.lib.ui.ac.id, trus ada note keren

Ada orang tahu,
dan dia tahu bahwa ia tahu,
dialah orang pandai.
Janganlah segan bertanya kepadanya ....

Ada orang tahu,
dan dia tidak tahu bahwa ia tahu,
dialah orang pelupa,
Janganlah sungkan mengingatkannya...

Ada orang tidak tahu,
dan dia tahu bahwa ia tidak tahu,
dialah orang lugu.
Janganlah sungkan mengajarkannya...

Ada orang tidak tahu,
dan tidak tahu bahwa ia tidak tahu,
dialah orang bodoh.
Jauhilah pengaruhnya...

pasti banyak yang inget seseorang terutama di kantor :D

Friday, 30 January 2009

Teror di mobil

Teror di mobil

as published in herworld magazine feb 2008

“Awas portal!” sambil menundukkan kepala
“eh..eh ada bis dari kiri tuh..” sambil badan condong ke kanan
“Iiih.!!” Sambil memejamkan mata, badan berkerut dan kaki diangkat

Jeritan jeritan kecil dan aksi seperti itu tentunya sudah menjadi menu standar di kuping para pria yang sedang menyupiri wanita. Pertama-tama saya mengalami hal itu, saya ber asumsi bahwa cara nyetir saya memang masih agak mengerikan. Maklumlah anak muda dan masih baru-baru bisa nyetir. Tapi setelah saya semakin jago nyetir dan berhasil mendapatkan pengakuan dari teman-teman dekat saya sebagai salah satu orang yang menyupir dengan tingkat kenyamanan dan keamanan penumpang yang tinggi, ternyata jumlah jeritan-jeritan itu tidak berkurang kalau sedang menyupiri ibu, pacar atau teman wanita saya. Kenapa ya?

Hal ini sempat jadi pembahasan hangat di tempat nongkrong kami. Karena kami semua merasa sebal, kami membuat penelitian singkat dengan beberapa percobaan kecil untuk mencari solusi jeritan-jeritan yang mengganggu konsentrasi itu. Kami berusaha keras meningkatkan performa cara menyetir. Hasilnya? Biarpun kami sudah berusaha menyetir seaman mungkin (dalam beberapa kejadian, mobil teman saya diklakson oleh mobil di belakangnya yang tidak sabar), jeritan-jeritan masih tetap ada dengan jumlah yang hampir tidak berkurang. Bingung bukan?

Kuantitas dan kualitas teriakan-terian itu berbanding lurus dengan kedekatan hubungan antara yang menyupir (pria) dan yang disupiri (wanita). Dalam artian, semakin dekat ikatan hubungan keduanya, maka jumlah jeritan akan semakin sering terdengar. Paling parah tentunya jika seorang anak yang sedang menyupiri ibunya. Bisa-bisa sepanjang jalan menjadi kuliah singkat tentang cara berkendara yang aman dst dst dst.

Apabila kondisinya dibalik, sang wanita yang nyetir dan pria yang disetiri melakukan banyak protes tentang cara menyetirnya, 90% kemungkinan kalimat pertama yang akan diucapkan adalah “Diem ah, bawel!” Dan buat pasangan, biasanya akan dilanjutkan dengan perang mulut dan akhirnya jadi berantem. Padahal, hampir semua teman saya mengeluhkan cara menyetir ibu, pacar, atau istri mereka yang masih jauh dari memuaskan. Hal ini sudah dibuktikan dengan adanya keluhan hampir semua sopir yang saya kenal apabila melihat mobil yang posisinya bikin kagok semua orang dan akhirnya bikin macet “Pasti sopirnya cewe’!!”

Kadang saya suka iri dengan supir bis dan angkutan umum lain. Mereka jelas-jelas merupakan salah satu komunitas pengemudi kendaraan dengan tingkat keamanan dan kenyamanan paling parah di muka bumi ini. Jangankan ibu hamil, seorang peraih medali emas beladiri sekalipun bisa memejamkan mata saking ngeri-nya dengan akibat yang bisa terjadi oleh maneuver-manuver luar biasa mereka.Tapi mereka tidak pernah ambil pusing dengan semua kengerian dan protes para penumpang. Kalau ada yang protes, mereka tinggal bilang “Turun aja kalo takut”

Satu hal yang kami heran, Jeritan dan protes sangat jarang terdengar sampai hampir tidak terdengar sama sekali apabila wanita yang kami supiri masih dalam status PDKT alias ‘pendekatan’. Padahal pada waktu statusnya hanya sebagai teman, mereka cukup bawel mengomentari cara menyetir kami. Ketika statusnya ‘meningkat’ menjadi calon pacar, komentar hampir tak terdengar. Setelah resmi jadi pacar, barulah mereka kembali bawel dengan intensitas yang lebih dari 2 kali lipat dibanding sebelumnya. Berdasar kejadian itu, teman saya mengambil kesimpulan bahwa wanita adalah penipu terbesar dengan mengganti ‘kemasan’ ketika barang dipasarkan, hahaha.

Seorang istri sangat kesal karena suaminya yang sedang menemani dia memasak di dapur tak henti-hentinya memberi instruksi tentang cara memasak kepadanya. Mulai dari member garam, cara mengaduk sayur sampai besarnya potongan tempe yang akan digoreng. Setelah beberapa lama, dia membentak suaminya “Sudahlah, aku jauh lebih tau mengenai masakan dan cara memasak daripadamu. Kamu tunggu di ruang tengah saja sambil nonton TV!” Suaminya dengan tenang meninggalkan dapur “Begitulah yang kurasakan kalau lagi menyetir mobil.”

Tabungan kesalahan

Tabungan kesalahan

as published in herworld magazine


Salah satu teman saya pernah memberi saran, Kalau kamu mau punya tabungan atau dana cadangan yang bisa dipakai dalam kondisi mendesak, berikanlah semua penghasilanmu ke istrimu, karena wanita cenderung lebih bisa menabung dibanding laki-laki. Walaupun pendapat ini tidak diterima sepenuhnya oleh teman-teman yang lain, tapi ada satu hal yang kita bisa sepakati bersama dalam hal tabung menabung ini. Yaitu, wanita sangat pandai dalam menabung kesalahan kaum pria! Nah lho, apa lagi tuh?

Hampir tidak ada kaum pria yang tidak pernah berdebat atau bertengkar dengan wanita. Entah dengan istri, pacar, adik atau ibunya. Hal yang tidak bisa kami mengerti adalah, apapun materi perdebatan atau pertengkarannya, hampir semuanya berakhir dengan kesalahan yang ada di kaum pria. Apabila dalam materi utama perdebatan sang wanita yang jelas-jelas kalah, maka mereka akan dengan cara yang ajaib akan memutarbalikkan kata-kata dengan fakta-fakta lama ataupun baru sehingga posisi pria berada pada pihak yang salah atau paling tidak mereka berimbang.

Membingungkan? Begitulah yang kami pikirkan. Contoh kasus yang paling mudah tentunya di rumah. Sering sekali kita diomeli oleh ibu kita mengenai hal-hal kecil

“Kata Papa, kamu kemarin harus bayar denda perpanjangan STNK ya?”
“Iya Ma, soalnya waktu lagi ngurus suratnya, datanya susah dicari di kantor polisi. Karena udah sore, terpaksa datang lagi besoknya dan kena denda deh.”
“Kan Mama udah bilang, kalo ngurus surat-surat itu ngga bisa mepet-mepet.”
“Lha, Mama kan ngasih uangnya baru minggu lalu.”
“Kamu kan harusnya udah siapin kalau bisa sebulan sebelumnya. Jadi begitu Mama kasih uangnya, kamu tinggal berangkat ke kantor polisi. Kalau udah gini kan jadi rugi kita. Kamu itu apa-apa selalu dianggap gampang. Tugas kuliah ngga pernah dikerjain kalau belum deadline, belajar cuma kalau menjelang ujian. Nanti kalau kamu kerja mau jadi apa? Sekarang kamu kerjain apa yang kamu bisa kerjain deh. Kamar berantakan ngga pernah mau beresin ... bla ... bla ...”

Itulah salah satu ilustrasi yang paling umum dihadapi kaum pria. Cuma gara-gara kena denda STNK, jadinya malah disuruh beresin kamar. Padahal kan yang salah dalam urusan STNK itu jelas dari pihak kepolisian yang tidak memiliki filing yang baik. Tapi di ujung pembicaraan malah jadi si anak yang punya banyak dosa. Hebat memang.

Kalau di kasus yang melibatkan pria dan wanita yang sedang pacaran, kasusnya akan jauh lebih kompleks. Karena kalau si pria tidak cukup peka terhadap situasi yang sedang dihadapi, bersiaplah untuk menghadapi peperangan ngga penting yang bisa berakibat fatal ke arah PHK, alias Putus Hubungan Kekasih.

“Kamu itu janjian kok suka telat!”
“Kamu gimana sih. Aku kan udah bilang bakal telat sedikit. Tadi aku nunggu bos buat tanda tangan laporan, tau? Aku juga ngga pernah ngomel kalo kamu kena macet atau nunggu kamu yang lagi ngurusin mobil di garasi sementara aku harus duduk manis nemenin mama kamu ngobrol. Emangnya enak ya? Belum lagi kalo kamu bla ... bla ... bla ...”

Situasi selanjutnya sudah bisa ditebak. Rencana jalan-jalan hari itu akan berantakan karena sang wanita akan cemberut seharian atau malah acara yang sudah direncanakan seminggu sebelumnya akan batal sama sekali. Hal terburuk yang akan terjadi adalah keluarnya kalimat…

“Kalau gitu, mendingan kamu cari perempuan lain deh”

Nah lho, pusing kan? Ada teman saya yang memberi pepatah sederhana, kalau kamu adu argumen sama perempuan, menang jadi babu, kalah jadi karang (pepatah aslinya: menang jadi abu, kalah jadi arang). Maksudnya, kalaupun pria menang argumen, bersiaplah untuk jadi babu karena wanita tidak akan membiarkan pria menang argumen untuk alasan apapun, setidaknya dia akan merepotkan si pria sampai merasa seperti jadi babu. Dan kalau dalam argumen itu si pria kalah, bersiaplah untuk jadi karang yang cukup kuat untuk menghadapi badai omelan dari wanita, hahaha.

Terkadang, adu argumen atau pertengkaran terjadi untuk hal-hal yang paling tidak terpikirkan dalam otak kaum pria.

“Sayang, aku mending pake sepatu yang coklat atau biru, ya?”
“Hmm, yang coklat.”
“Emangnya kenapa kalau yang biru? Jelek ya? Kan aku suka pake yang biru. Jadi kemarin waktu aku pake yang biru itu jelek? Kamu suka ya kalau lihat aku jelek? Kamu gimana sih. Kalau emang udah ngga suka sama aku dan pengen cari perempuan lain, bilang aja. Atau kamu emang udah ada perempuan lain ya? Ngaku aja. Udah ah aku ngga jadi pergi hari ini, kamu pergi aja sama selingkuhan kamu itu ... bla ... bla ... bla”

Saya bisa membayangkan ekpresi sang pria itu. Entah pacar atau suaminya, yang pasti dia akan bingung setengah mati. Salah gue apa ya? Apakah kemarin waktu dia ngga ngasih komentar tentang sepatu yang biru itu termasuk kesalahan?

Ada satu hal lagi yang perlu kami catat dalam hal tabungan kesalahan ini. Jangka waktu tabungannya jauh lebih lama dibanding semua jenis tabungan yang ada di dunia ini. Jadi jangan berharap pria yang pernah ketahuan selingkuh akan aman dan sejahtera hidupnya setelah sang istri memaafkan kesalahannya. Saya pernah secara tidak sengaja menengar perdebatan orang tua salah satu teman saya, dan sang ibu dengan tegas mengungkit kesalahan sang ayah yang pernah ditaksir sama sekertarisnya 40 tahun yang lalu! Padahal kan tidak terjadi perselingkuhan pada waktu itu. Luar biasa.

Lirikan maut

Lirikan maut

As published in herworld magazine april 2008

Beberapa hari yang lalu saya melihat salah satu tayangan infotainment. Topik yang dibahas pada hari itu tentang salah satu pasangan bahagia yang akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Ketika sang pria ditanya mengenai ketetapan hatinya untuk menikah dan meninggalkan kehidupan bujangan yang serba bebas, dia hanya tertawa dan berkata “Yah kalau maunya bebas terus sih, kapan bisa punya keluarga? Lagian dia ini cukup bebas kok, aku ngga banyak diatur-atur, kalau cuma lirik-lirik perempuan lain sih, ngga apa-apa, hahaha” sambil melihat ke arah sang calon istri. Sementara saya yakin hampir semua pemirsa TV pada saat itu bisa melihat raut muka sang perempuan yang sama sekali tidak setuju dengan pernyataan itu. Rupanya sang pria menyadari hal itu, “Yaa, kan cuma ngelirik doang, yang. Ngga apa apa dong. Hehe”

Apakah sang perempuan cukup puas? Saya yakin tidak. Sebagaimana halnya mayoritas perempuan yang saya kenal. Ketika mereka ditanya “Bolehkah pasanganmu ngelirik perempuan lain, lagi jalan-jalan ataupun di lingkungan rumah?” Kata TIDAK sebagai jawaban mereka tidak akan membutuhkan waktu sampai 1 detik untuk keluar dari mulut.

Pernah suatu waktu kami ngongkrong di salah satu mal terkenal di Jakarta. Sebagai serombongan laki-laki normal, tentunya kami hampir selalu mengomentari perempuan-perempuan yang lewat dengan berbagai dandanan. Diantara kami ada seorang teman yang mengajak pacarnya ikut nongkrong dengan kami. Melihat kelakuan kami yang 'sangat laki-laki' tersebut, dia berkomentar (dengan sewot tentunya) “kenapa sih laki-laki kelakuannya sama di semua tempat? ngga abg, ngga kakek-kakek, kalau liat perempuan kinclong dikit, berisiknya setengah mati, huh” Kami hanya saling lihat, terus ketawa berbarengan.

Masalah larangan lirik melirik ini ternyata sudah menjadi harga mati di kalangan perempuan semua usia. Saya pernah punya tetangga sunda yang sudah berusia lanjut, suatu sore hari yang cerah, saya sedang duduk di depan rumah mendengar omelan sang nenek “euleuh si aki, kalahkah diuk dihareup ningalian awewe nu liwat. itu cai jang mandi geus siap .......” (gimana sih si kakek, malah duduk di depan ngeliatin perempuan yang lewat. Itu air buat mandi sudah siap ......) entah beliau sewot karena si kakek belum mandi atau sewot karena lihat perempuan lain, yang pasti nenek itu ngomel panjang pendek sampai akhirnya si kakek masuk ke dalam rumah untuk mandi.

Salah satu teman perempuan saya pernah dengan sewot mempertanyakan hal ini

“Kenapa ya kalau di Mal tuh mata laki-laki berubah jadi kayak serigala lapar? Memang sih perempuan cantik makin banyak, tapi kan ngeliatnya ngga perlu kayak gitu, kepala sama badan sampe muter ngikutin gerakan itu perempuan. Memang sih kita jug suka ngeliat laki-laki. Mungkin lebih sering daripada laki-laki ngeliat perempuan. Yang ganteng, lucu, apalagi yang badannya ngebentuk bagus, hmm. Tapi kan kita cukup ngelirik aja, ngga perlu sampai noleh, apalagi sampe badannya ikut muter, huh!”

Saya sih cuma diem aja sambil tersenyum. Tapi ternyata unek-unek itu belum selesai

“Coba kalau kita yang ngelakuin hal itu. apa ngga pada sebel tuh laki-laki?”

“Yaa, kalau mau ngelakuin hal yang sama sih terserah aja. Kita kan cuma meneruskan tugas dan bakat yang diberikan oleh ayah kita. kenapa mesti sewot?”

“Memangnya laki-laki ngga keberatan kalau pacarnya ngeliatin cowo' lain?”

“Kenapa mesti keberatan? silakan aja. Paling yang malu perempuannya juga, hehe”

Sementara dari kubu pria, argumen yang hampi pasti terdengar adalah “Tuhan sudah menciptakan wanita dengan bentuk yang sedemikian cantik. Makin hari jumlahnya makin banyak dengan variasi yang semakin canggih. Sementara kita punya mata yang memang di design untuk menikmati keindahan ciptaan Tuhan. Jadi kesalahan kita dimana? Ada mahluk cantik, kita lihat, selesai kan? Masih bagus kita liat perempuan, kalau kita udah mulai ngeliat laki-laki, kan mereka juga yang nanti repot ngga ada yang ngeliatin, hehe”

Yaa, begitulah memang laki-laki. Dengan kemampuan untuk melihat lebih jauh dari rata-rata jarak pandang perempuan, kami punya keistimewaan untuk mendeteksi mahluk cantik dari jarak jauh. Ngiler-ngiler dikit dan bengong bego adalah efek samping yang kadang tidak terhindarkan.

Quotes... inspiring, funny & stupid (well, u know yg mana lah, hahahaha). open ur mind before u read!

Quotes... inspiring, funny & stupid (well, u know yg mana lah, hahahaha). open ur mind before u read!

Tan Malaka - Aksi Massa 1926
"Akuilah dengan yang putih bersih, bahwa kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru orang Barat, melainkan seorang murid dari Timur yang cerdas, suka memenuhi kemauan alam dan seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat".

Kartini - Suratkepada Nona Zeehander, 18 Agustus 1899
"Bagi saja ada dua macam bangsawan, ialah bangsawan fikiran dan bangsawan budi. Tidaklah yang lebih gila dan bodoh menurut pendapat saya dari pada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya".

William James
Be not afraid of life. Believe that life is worth living, and your belief will help create the fact.

Napoleon Bonaparte :
Religion is excellent stuff for keeping common people quiet
Religion is what keeps the poor from murdering the rich.

Give a man a fish and he will eat for a day; teach a man to fish and he will eat for a lifetime; give a man religion and he will die praying for a fish

Steven Weinberg :
With or without religion, you would have good people doing good things and evil people doing evil things. But for good people to do evil things, that takes religion.

Friedrich Nietzsche
"Faith means not wanting to know what is true."

George S. Patton, US general (1885 - 1945)
The More You Sweat in Peace, The Less You Bleed in War

Douglas MacArthur:
"For those who said that a pen is mightier than sword never face an automatic weapon"

Seneca the Younger 4 b.c.- 65 a.d
Religion is regarded by the common people as true, by the wise as false, and by the rulers as useful

Joseph Stalin
Death of a man is a tragedy. Death of a million is a STATISTIC!
Then Devil is with us, and together we will win

Megawati Soekarnoputri
Nabi saja seorang pemimpin, tapi nggak sarjana kok.

Gus Dur:
gitu aja kok repot!

BANG NAPI
KEJAHATAN TIDAK HANYA TERJADI KARENA ADA NIAT DARI PELAKUNYA, TAPI JUGA KARENA ADA KESEMPATAN, WASPADALAH... WASPADALAH!!

huakakakakakakakaka...
nothing personal...

Simalakama Mantan

Ada satu hal yang akan selalu menjadi duri dalam daging dalam suatu hubungan anatra laki-laki dan perempuan. Baik yang masih pacaran maupun yang sudah menikah. Yaitu mengenai mantan, baik mantan pacar apalagi mantan istri/suami. Ada sebuah hukum tidak tertulis yang sudah menjadi rahasia umum bahwa kami (saya, teman-teman saya dan hampir semua lelaki di seluruh dunia) DILARANG melakukan kontak sekecil apapun dengan mantan pacar kami. Aturan ini tentunya datang dari pasangan kami yang akan memberikan hukuman yang sangat berat apabila 'mencium' ataupun 'mencurigai' adanya kontak sekecil apapun dengan para mantan.

Tanda-tanda mengenai aturan ini sudah muncul sejak masa pendekatan sebelum masuk ke fase pacaran. 'Kamu sebelumnya sudah berapa kali pacaran?' Adalah pertanyaan standard yang sudah pasti ditanyakan dengan berbagai cara atau versi. Selanjutnya mereka akan menyelidiki, dimanakah para mantan mantan itu berada, bagaimana hubungannya sekarang dan lain-lain. Hal ini adalah SOP (Standard Operation Procedure) dari pihak perempuan untuk mengetahui bibit, bebet dan bobot sang pacar. Terutama untuk mengetahui kira-kira berapa banyak dan berapa besar 'bahaya laten’ yang mungkin bisa mengganggu poleksosbud hubungan kedua belah pihak.

Bagi para laki-laki, jangan harap penyelidikan akan berakhir setelah pihak perempuan mengetahui info-info dasar mengenai para mantan. Interogasi akan terus berlanjut secara gerilya dan simultan selam bertahun-tahun bahkan bisa jadi seumur hidup. Perempuan sangat pintar mengatur strategi dalam mengumpulkan potongan-potongan informasi yang diberikan pasangannya. Kewaspadaan harus ditingkatkan terutama dalam hal mengingat jawaban yang sudah pernah diberikan bertahun-tahun lalu. Bahkan jawaban bercanda sekalipun bisa dijadikan 'clue' atau petunjuk untuk mengorek informasi yang sifatnya 'classified'.

Sebenarnya bagi kami para lelaki yang sudah pernah memiliki mantan pacar, sang mantan pacar umumnya tidak menjadi ancaman serius. Karena bagi kami, yang sudah lewat biarlah berlalu, toh kita harus maju. Hal ini sangat disetujui oleh teman-teman nongkrong saya.

Kami sudah pernah melakukan percobaan dengan urusan 'mantan' ini. Kami kembali menemui mantan kami yang sudah lama tidak bertemu. Apa yang terjadi? Setelah berpisah sekian lama, umumnya kedua belah pihak sudah mengalami perubahan yang cukup berarti. Tidak banyak dari kami yang memutuskan untuk kembali mencoba jalan yang sudah pernah dilalui itu. Karena jalan itu sudah pernah dicoba dan tidak mulus kan? Selain itu perubahan yang sudah terjadi antara kedua pihak biasanya cukup signifikan dan sudah tidak cocok dengan kondisi lapangan yang ada sekarang. Dari pihak para mantan pun tidak banyak yang memutuskan untuk ‘berusaha’ mengulang cerita lama yang sudah pernah tertulis.

Tapi jangan harap argumen ini akan mempan di hadapan para wanita itu. Semakin banyak berargumen, maka kecurigaan akan semakin meningkat. Dan bila kecurigaan semakin meningkat, maka jangan berharap tingkat kenyamanan hidup anda akan berada di level yang diinginkan. Teror, interogasi dan lain-lain sejenisnya akan mendera dari berbagai sudut, bahkan dari hal yang paling tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Makanya, apabila ada pertanyaan “Kamu sudah berapa kali pacaran?”, maka jawaban yang paling aman adalah “Belum pernah ko’, kamu kan cinta pertamaku” hahahaha.

Bos perempuan

Bos perempuan


Sejak kecil, saya sering mendengar kata emansipasi, feminis, persamaan hak dan lain lain yang berhubungan sama perempuan. Kalau dulu saya tidak peduli, sejak masuk dunia kerja tampaknya saya harus mulai memikirkan hal itu. Bukan hanya memikirkan, tetapi juga mempraktekannya langsung. Karena tidak semua teman kerja saya adalah laki-laki. Bahkan pernah pada suatu masa saya memiliki seorang bos perempuan! Banyak pria yang tidak menyukai hal itu. Bisa jadi karena masalah harga diri sebagai lelaki yang ditindas perempuan, atau juga karena banyaknya perbedaan sudut pandang.

Mari kita persempit pembicaraan ini menjadi pembicaraan mengenai bos perempuan. Pada waktu saya bekerja di tempat yang bos-nya adalah laki-laki, saya tidak pernah memikirkan apa untung ruginya apabila bos saya perempuan. Tapi setelah mengalaminya sendiri, ternyata tidak mudah ya. Karena pada waktu saya memiliki bos perempuan, kebetulan divisi kami adalah divisi yang mayoritas dihuni oleh laki-laki. Dan bukan sembarang laki-laki, tapi umumnya laki-laki petarung yang harus siap diadu dan bersaing dengan perusahaan kompetitor selama 24 jam sehari (dalam hal hasil akhir tentunya). Dan jam kerja kantor kami memang 24 jam sehari dengan deadline hampir setiap saat! Jadi harap dimaklumi lah kalau kantor kami terlihat jauh dari kesan rapi dan teratur. Sebagai perbandingan, flow di kantor kami sepintas seperti ruang senat ketika menjelang puncak acara inagurasi (24 jam sehari, semua orang sibuk, ada yang berteriak, ada yang bengong, ada yang tertidur kecapekan dll).

Apa keuntungan dengan ditunjuknya bos perempuan di divisi kami? Kantor jadi terlihat lebih rapi, itu pasti. Perempuan mana tahan melihat tas, jaket, sepatu dan orang tertidur kelelahan yang berceceran di berbagai sudut ruangan kan? Selain itu, detail hasil akhir sangat diperhatikan. Kesalahan warna sedikit saja bisa menjadi masalah besar, padahal kami sebagai laki-laki umumnya tidak terlalu peduli apa bedanya antara hijau tosca dengan hijau daun, atau kuning telor dengan kuning gading. Selama warna itu berbeda dengan merah, hehe.
Selain adanya keuntungan, kerugian juga dipastikan ada dong. Salah satunya adalah kualitas produk. Menurut saya, karena terlalu berlebihan pada detail, seringkali tujuan besarnya tidak tercapai. Apabila lebih banyak orang yang menyukai produk itu, seharusnya lebih baik kan? Bukan hanya terlihat lebih rapi atau warnanya lebih matching.

Kerugian lain dari memiliki bos perempuan di kantor kami pada waktu itu adalah terjadinya jarak yang sangat signifikan antara atasan dengan bawahan. Hal itu jarang terjadi di perusahaan lain dengan bos laki-laki yang pernah mempekerjakan saya. Walaupun ada garis komando yang jelas dalam pekerjaan rutin. Tapi pada waktu santai umumnya para bos pria itu bisa berbaur dengan hampir semua bawahannya termasuk posisi yang paling bawah dalam rantai komando. Batasan antara atasan dan bawahan pada waktu itu menjadi sangat tipis, kami bisa melupakan sejenak beban kerja sehari-hari dan bisa ‘menarik’ bos pada posisi kami dengan materi pembicaraan yang sangat berbeda dari materi kantor. Pada waktu saya memiliki bos perempuan, dia tidak bisa berbaur dengan kami tanpa ‘membawa’ pekerjaan. Selalu ada ‘pagar’ antara kami dengan sang bos. Pergaulannya pun seakan akan hanya mau dengan 2 sampai 3 lapis rantai komando saja di bawahnya. Padahal rantai komando yang dia kuasai cukup panjang, bisa sampai 7 lapis.

Tapi itu di kantor lama saya yang mayoritas laki-laki. Berbeda dengan kantor teman saya yang mayoritas perempuan. Menurutnya, bos perempuan di kantor yang mayoritas perempuan hanyalah mencari masalah. Karena bagus atau tidak dia dalam pekerjaanya, hampir dipastikan dia akan menjadi bulan-bulanan celaan dan hujatan dari para anak buah perempuan (secara diam-diam tentunya). Menjadi semacam black campaign untuk menjatuhkan wibawa sang bos. Padahal kalau sang provokator campaign itu ditunjuk menjadi bos juga kemungkinan besar dia tidak akan bisa perform lebih baik dari si bos. Sementara kalau di kantor yang mayoritas perempuan dengan bos pria, maka skenarionya akan berbeda. Yang pertama akan ada perlombaan menarik simpati si bos (bisa sampai melibatkan sex), atau hanya menurut pada perintah2 si bos. Pada beberapa kasus ada juga anak buah perempuan yang mengusahakan ‘kudeta’ dengan meloncat ke bos-nya si bos.

Apapun konflik yang terjadi, adanya perempuan di kantor baik sebagai bos ataupun sebagai rekan kerja sudah member warna tersendiri di dalam suasana kantor. Mengenai masalah emansipasi, feminism dll, itu sih tidak pernah menjadi masalah yang mengganggu pikiran saya. Yang mengganggu saya hanyalah masalah timing. Sebagai bos ataupun bukan, selalu ada minimal 3 hari dalam sebulan dimana kami para laki laki harus menghindari para perempuan itu. Bukannya kenapa kenapa, PMS (masa masa sebelum atau setelah menstruasi) membuat perempuan menjadi lebih ganas dari singa lapar, hahahaha.

Wedding or Marriage?

Wedding or Marriage?
as published in herworld magazine, Dec 2008


Serupa namun tak sama. Mewakili kaum yang “tertindas”, DANIEL CASSIDY mempertanyakan kenapa perempuan berubah menjadi begitu perfeksionis dan serbarumit saat menghadapi pesta pernikahan.

Dalam beberapa bulan ke depan, saya harus mengurusi salah satu hal yang selalu menjadi masalah besar bagi saya dan sebagian besar teman teman pria saya selama ini, yaitu upacara pernikahan. Walaupun pernikahan ini adalah pernikahan adik perempuan saya, tapi tetap saja kami dari pihak keluarga perempuan menjadi pihak yang paling dipusingkan untuk mengatur hampir semua hal besar sampai perintilan paling kecil. Biarpun pernikahannya sendiri masih akan berlangsung setengah tahun lagi, tapi kami sekeluarga harus terlibat secara aktif membantu adik saya itu. Kalau tidak, tentunya intimidasi tidak hanya akan datang dari dia, tapi dari ibu saya yang akan mem-back-up 100%.

Saya dan teman teman saya sepakat bahwa perempuan memiliki obsesi yang berlebihan dengan masalah pernikahan. Malah cenderung kepada obsesif kompulsif. Beberapa teman perempuan kami ada yang secara terus terang mengakui bahwa mereka sudah merencanakan upacara pernikahannya sejak duduk di bangku Sekolah Dasar! Luar biasa sekali. Seingat saya, ummm… semasa SD yang ada di otak saya hanya kelereng dan layangan! Hahaha… Sementara ketika dewasa, untuk urusan pernikahan sebagian besar dari kami, kaum lelaki tidak pernah berpikir apa saja yang harus dipersiapkan untuk pernikahan selain uang cash sampai waktunya sudah mepet ke tanggal pernikahan.

Salah seorang teman saya pernah mengeluh mengenai calon suaminya yang juga teman baik saya sebulan sebelum upacara pernikahan digelar. Dia bilang “Gimana sih temen lu, masa’ semua urusan kawinan ini gue yang ngurusin? Mulai dari cincin kawin, ini, itu, bla… bla… bla…” Sebagai teman yang baik, tentunya saya menghibur dia dengan berkata “Makanya, enggak usah yang ribet-ribet. Cincin kawin beli aja di toko itu, acara kawinan lu tinggal bayar EO, beres kan?” Saya kurang mengerti kenapa setelah itu dia langsung pergi meninggalkan break area kantor kami dan langsung kembali ke mejanya tanpa bicara.

Yang menjadi pertanyaan besar bagi kami, kenapa upacara pernikahan harus dibuat seribet mungkin dan melibatkan hampir semua keluarga besar dari kedua belah pihak? Sudah tahu sendiri kan, makin banyak kepala jadinya makin runsing (itu ungkapan keluarga saya untuk rumit, runyam, dan pusing!). Kenapa upacara pernikahan dan resepsi yang memakan biaya sangat mahal itu tidak bisa diubah menjadi simpel dengan membuatnya sebagai pertemuan resmi dua keluarga besar dan acara utama adalah pengucapan akad nikah serta penandatanganan akta pernikahan oleh kedua mempelai? Tentunya bila di akhir acara akan ada makan bersama sebagai tanda suka cita dan diiringi sebuah band sebagai penghibur masih masuk dalam batas toleransi kami.

Ada yang berpendapat bahwa upacara rumit, mahal, ribet dan sangat merepotkan itu untuk memberi efek jera pada kedua mempelai, agar mereka berpikir seribu kali sebelum memutuskan untuk bercerai dan menikah lagi dengan mengulangi semua kerepotan yang ada. Tapi, menurut saya alasan itu tentu tidak akan cukup kuat, karena cukup banyak orang yang ternyata punya hobi kawin-cerai. Bahkan banyak pula yang doyan poligami. Untuk mendapatkan kenikmatan “tertentu”, kebanyakan kaum saya enggak ampuh deh kalau cuma “dikapokin” dengan pesta perkawinan ribet doang!

Sekarang ini sudah banyak event organizer yang memiliki spesialisai meringankan sebagian besar kerunsingan menuju upacara pernikahan. Tapi, menurut kami, event organizer itu hanya memberi kesempatan bagi perempuan untuk lebih memperumit masalah menuju upacara pernikahan itu sendiri. Mungkin karena sudah tidak perlu memikirkan persiapan makanan, tempat dan acara, maka hal-hal sepele jadi bisa di-expose untuk menjadi masalah besar. Seperti cindera mata, baju pager ayu, pager bagus, pager betis, dan pager-pager lainnya. Belum lagi dekorasi bunga, bentuk kancing jas pengantin pria, sampai bentuk huruf alamat dalam undangan. Saya pernah melihat seorang perempuan memarahi pasangannya di tempat memesan kartu undangan karena sang laki-laki tampak tak peduli dengan pemilihan bentuk hurufnya. Omelan yang terdengar “Kamu gimana sih, memangnya undangan ini enggak penting ya? Kalo gitu enggak usah bikin undangan aja!” Saya yakin 100% sang laki-laki di dalam hati langsung setuju dengan kalimat terakhir itu, meski di luarnya tak berani berkata apapun dan hanya berakting pura-pura bahwa dia tertarik pada si kartu undangan hahaha.... Bagi kami, mengantar pergi ke tempat pemesanan undangan sudah merupakan effort yang cukup banyak. Kenapa sampai harus memilih bentuk huruf segala? Belum lagi list dan alamat tamu undangan yang harus dibuat dalam waktu singkat. Wah, pusing sekali pastinya. Kenapa tidak memanfaatkan teknologi canggih seperti SMS, MMS, dan email?

Teman perempuan saya yang belum menikah pernah berkata bahwa dia ingin upacara pernikahannya melibatkan upacara adat seperti siraman, seserahan dll. Alasannya, adalah “Biar lebih kerasa kawinannya gitu lho. Masa’ cuma berdiri doang salam-salaman di panggung. Kayak pejabat yang cari sensasi saja.” Mendengar hal itu saya jadi berpikir, yang lebih penting sebenarnya upacara pernikahan atau kehidupan berumah tangga? Wedding or marriage? Bukannya nanti tantangan sebenarnya justru menunggu usai upacara selesai? Bagaimana agar pernikahan bisa berjalan aman, damai, sentosa, awet rajet bak kakek-nenek kita dulu.

Entahlah, semua orang tentunya punya orientasi sendiri-sendiri. Semoga saja upacara pernikahan superribet itu tidak akan menghasilkan kehidupan rumah tangga yang berumur pendek. Kalau saya pribadi sih berharap upacara pernikahan nan mahal itu bisa balik modal dari angpao, hahaha…

Tuesday, 13 January 2009

Sale, sale, sale!!

as published in herworld magazine in july 2008

Beberapa waktu lalu, saya sering hang out di salah satu kedai kopi yang berhadapan langsung dengan salah satu department store bergengsi. Seperti biasa, program mereka di pertengahan tahun adalah Jakarta Great Sale, bulan penuh discount untuk hampir semua barang yang dijual. Kegiatan ini biasanya dilakukan toko untuk menghabiskan sisa stock barang dagangan mereka. Pada tahun delapan puluhan, orang sudah cukup senang dengan discount 10% sampai 30%. Tahun sembilan puluhan, discount yang diberikan toko mulai ‘menggila’ antara 50% sampai 70%. Sedangkan di tahun dua ribuan, discount pada masa cuci gudang toko bisa ‘gila-gilaan’ sampai dengan 70 + 30% (maksudnya setelah mendapat discount 70%, diberi discount lagi 30% dari sisa harga barang).

Strategi dagang seperti itu sebenarnya sah-sah saja. Walaupun secara logika sederhana kita boleh mengambil kesimpulan, barang yang mereka jual itu modal dasarnya tidak sampai 20% dari harga jual awal (atau mereka mark-up harga sebelum melakukan sale? Entahlah).

Kalau diperhatikan lebih detail, barang-barang yang sering mendapat perlakuan cuci gudang lebih banyak barang yang akan dibeli kaum perempuan. Seperti baju, sepatu, tas, aksesoris dan lain-lain. Barang-barang kaum pria yang dijual cuci gudang juga pada umumnya barang-barang yang sering dibelikan perempuan untuk pasangannya. Seperti celana, ikat pinggang, kacamata dan sejenisnya. Strategi yang lain, barang-barang pria yang dijual cuci gudang juga diletakkan berdekatan dengan barang-barang perempuan. Jadi saya mengambil kesimpulan bahwa kegiatan cuci gudang lebih diperuntukkan bagi perempuan.

Cukuplah bicara mengenai taktik dagang dan seterusnya, itu bukan hal yang menarik bagi saya saat ini. Hal yang lebih menarik adalah perilaku para pembeli, terutama kaum perempuan. Kegiatan cuci gudang yang lebih banyak ditujukan bagi kaum perempuan tentunya bukan tanpa alasan. Karena menurut saya dan teman-teman hang out saya, perempuan adalah mahluk yang mudah ‘ditipu’ dengan iming-iming discount. Hal ini bisa dibuktikan dengan cara mengikuti mereka pergi jalan-jalan ke Mal yang sedang melakukan discount, dan hampir bisa dipastikan akan diakhiri dengan pulang membawa beberapa bungkusan yang pada awalnya tidak direncanakan.

Beberapa teman perempuan saya sangat bersemangat kalau ada kabar mengenai cuci gudang di suatu department store. Mereka menganggap bahwa berbelanja di waktu cuci gudang berarti bisa berhemat sekian puluh persen dari harga jual sebenarnya. Kalimat yang sangat sering terdengar adalah “Ini kan biasanya seratus ribu, kemaren aku beli cuma enam puluh ribu lho” atau “Discount-nya sampai tujuh puluh persen, sayang ya gajian masih minggu depan”

Hal yang sulit saya mengerti adalah pedoman para perempuan yang mengatakan “Dengan berbelanja pada waktu discount, kita bisa berhemat sekian persen”. Hemat di sebelah mana ya? Bukankah dengan berbelanja barang yang sebenarnya belum atau tidak kita butuhkan (in any condition) berarti kita melakukan pemborosan ?

Satu hal yang sangat saya kagumi, program discount yang ditujukan bagi perempuan tidak membutuhkan media iklan yang menghabiskan banyak biaya. Dengan kabar dari mulut ke mulut, ‘kabar burung’ atau ‘desas-desus’, sudah lebih dari cukup untuk membuat sebuah pusat perbelanjaan menjadi penuh pengunjung. Apabila ‘kabar burung’ itu benar (mengenai program discount tsb), maka hampir bisa dipastikan tempat itu akan lebih penuh lagi. Waktu yang dibutuhkan untuk melepaskan si burung pembawa kabar pun tidak perlu terlalu lama, 1 atau 2 hari sebelum program dilaksanakan sudah sangat cukup untuk menarik minat para perempuan.

Untuk masa sekarang ini, waktu dan tempat dilaksanakan program discount atau cuci gudang bisa sangat bervariasi. Tidak harus selalu dilakukan di outlet resmi atau dalam waktu berbelanja yang ‘wajar’. Beberapa waktu lalu di atas Senayan City Jakarta ada program discount yang dilaksanakan di Hal yang biasanya dijadikan ruang pertemuan, bukan di tempat biasa orang berbelanja. Tidak perlu advertising yang hebat dan mahal, dengan kabar burung yang disebarkan melalui email sudah sangat cukup untuk membuat ratusan wanita karir dari berbagai pelosok Jakarta membolos kerja dengan berbagai alasan untuk memburu barang discount (termasuk istri saya dan hampir seluruh teman sekantornya!).

Sedangkan masalah waktu, ada terobosan baru dalam program cuci gudang. Namanya Midnight Sale. Program ini dilaksanakan mulai jam 9 malam sampai tepat tengah malam. Pada saat itulah saya melihat Senayan City Jakarta sangat dipadati pengunjung di malam hari. Gedung parkir yang terdiri dari 6 lantai tidak cukup untuk menampung mobil pengunjung. Semua area kosong dan jalanan di sekitar Senayan City dipakai sebagai area parkir, kemacetan terjadi sampai lewat tengah malam. Ironisnya, banyak dari ibu-ibu yang datang untuk berbelanja di Midnight Sale itu membawa anak mereka yang masih kecil dan balita. Apakah mereka sedang melakukan doktrinasi mengenai ‘senangnya berbelanja’ pada anak-anak? Atau mereka terpaksa melakukan 2 kewajiban sekaligus, menjaga anak dan berbelanja? Entahlah.

Wednesday, 7 January 2009

Indonesia tidak pernah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda

Indonesia tidak pernah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda
Tanggal 8 Maret, 66 Tahun Lalu

Oleh Nina Herlina L.

"Wij sluiten nu.Vaarwel, tot betere tijden. Leve de Koningin!" (Kami akhiri sekarang. Selamat berpisah sampai waktu yang lebih baik. Hidup Sang Ratu!). Demikian NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij/Maskapai Radio Siaran Hindia Belanda) mengakhiri siarannya pada tanggal 8 Maret 1942.

Enam puluh enam tahun yang lalu, tepatnya 8 Maret 1942, penjajahan Belanda di Indonesia berakhir sudah. Rupanya "waktu yang lebih baik" dalam siaran terakhir NIROM itu tidak pernah ada karena sejak 8 Maret 1942 Indonesia diduduki Pemerintahan Militer Jepang hingga tahun 1945. Indonesia menjadi negara merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.

Masyarakat awam selalu mengatakan bahwa kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Benarkah demikian? Untuk ke sekian kalinya, harus ditegaskan bahwa "Tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun". Masyarakat memang tidak bisa disalahkan karena anggapan itu sudah tertulis dalam buku-buku pelajaran sejarah sejak Indonesia merdeka! Tidak bisa disalahkan juga ketika Bung Karno mengatakan, "Indonesia dijajah selama 350 tahun!" Sebab, ucapan ini hanya untuk membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme rakyat Indonesia saat perang kemerdekaan (1946-1949) menghadapi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Bung Karno menyatakan hal ini agaknya juga untuk meng-counter ucapan para penguasa Hindia Belanda. De Jong, misalnya, dengan arogan berkata, "Belanda sudah berkuasa 300 tahun dan masih akan berkuasa 300 tahun lagi!" Lalu Colijn yang dengan pongah berkoar, "Belanda tak akan tergoyahkan karena Belanda ini sekuat (Gunung) Mount Blanc di Alpen."

Tulisan ini akan menjelaskan bahwa anggapan yang sudah menjadi mitos itu, tidak benar. Mari kita lihat sejak kapan kita (Indonesia) dijajah dan kapan pula penjajahan itu berakhir.

Kedatangan penjajah

Pada 1511, Portugis berhasil menguasai Malaka, sebuah emporium yang menghubungkan perdagangan dari India dan Cina. Dengan menguasai Malaka, Portugis berhasil mengendalikan perdagangan rempah-rempah seperti lada, cengkeh, pala, dan fuli dari Sumatra dan Maluku. Pada 1512, D`Albuquerque mengirim sebuah armada ke tempat asal rempah-rempah di Maluku. Dalam perjalanan itu mereka singgah di Banten, Sundakalapa, dan Cirebon. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara, akhirnya tiba juga di Ternate.

Di Ternate, Portugis mendapat izin untuk membangun sebuah benteng. Portugis memantapkan kedudukannya di Maluku dan sempat meluaskan pendudukannya ke Timor. Dengan semboyan "gospel, glory, and gold" mereka juga sempat menyebarkan agama Katolik, terutama di Maluku. Waktu itu, Nusantara hanyalah merupakan salah satu mata rantai saja dalam dunia perdagangan milik Portugis yang menguasai separuh dunia ini (separuh lagi milik Spanyol) sejak dunia ini dibagi dua dalam Perjanjian Tordesillas tahun 1493. Portugis menguasai wilayah yang bukan Kristen dari 100 mil di sebelah barat Semenanjung Verde, terus ke timur melalui Goa di India, hingga kepulauan rempah-rempah Maluku. Sisanya (kecuali Eropa) dikuasai Spanyol.

Sejak dasawarsa terakhir abad ke-16, para pelaut Belanda berhasil menemukan jalan dagang ke Asia yang dirahasiakan Portugis sejak awal abad ke-16. Pada 1595, sebuah perusahaan dagang Belanda yang bernama Compagnie van Verre membiayai sebuah ekspedisi dagang ke Nusantara. Ekpedisi yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman ini membawa empat buah kapal. Setelah menempuh perjalanan selama empat belas bulan, pada 22 Juni 1596, mereka berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Inilah titik awal kedatangan Belanda di Nusantara.

Kunjungan pertama tidak berhasil karena sikap arogan Cornelis de Houtman. Pada 1 Mei 1598, Perseroan Amsterdam mengirim kembali rombongan perdagangannya ke Nusantara di bawah pimpinan Jacob van Neck, van Heemskerck, dan van Waerwijck. Dengan belajar dari kesalahan Cornelis de Houtman, mereka berhasil mengambil simpati penguasa Banten sehingga para pedagang Belanda ini diperbolehkan berdagang di Pelabuhan Banten. Ketiga kapal kembali ke negerinya dengan muatan penuh. Sementara itu, kapal lainnya meneruskan perjalanannya sampai ke Maluku untuk mencari cengkih dan pala.

Dengan semakin ramainya perdagangan di perairan Nusantara, persaingan dan konflik pun meningkat. Baik di antara sesama pedagang Belanda maupun dengan pedagang asing lainnya seperti Portugis dan Inggris. Untuk mengatasi persaingan yang tidak sehat ini, pada 1602 di Amsterdam dibentuklah suatu wadah yang merupakan perserikatan dari berbagai perusahaan dagang yang tersebar di enam kota di Belanda. Wadah itu diberi nama Verenigde Oost-Indische Compagnie (Serikat Perusahaan Hindia Timur) disingkat VOC.

Pemerintah Kerajaan Belanda (dalam hal ini Staaten General), memberi "izin dagang" (octrooi) pada VOC. VOC boleh menjalankan perang dan diplomasi di Asia, bahkan merebut wilayah-wilayah yang dianggap strategis bagi perdagangannya. VOC juga boleh memiliki angkatan perang sendiri dan mata uang sendiri. Dikatakan juga bahwa octrooi itu selalu bisa diperpanjang setiap 21 tahun. Sejak itu hanya armada-armada dagang VOC yang boleh berdagang di Asia (monopoli perdagangan).

Dengan kekuasaan yang besar ini, VOC akhirnya menjadi "negara dalam negara" dan dengan itu pula mulai dari masa Jan Pieterszoon Coen (1619-1623, 1627-1629) sampai masa Cornelis Speelman (1681-1684) menjadi Gubernur Jenderal VOC, kota-kota dagang di Nusantara yang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah berhasil dikuasai VOC. Batavia (sekarang Jakarta) menjadi pusat kedudukan VOC sejak 1619, Ambon dikuasai tahun 1630. Beberapa kota pelabuhan di Pulau Jawa baru diserahkan Mataram kepada VOC antara tahun 1677-1705. Sementara di daerah pedalaman, raja-raja dan para bupati masih tetap berkuasa penuh. Peranan mereka hanya sebatas menjadi "tusschen personen" (perantara) penguasa VOC dan rakyat.

"Power tends to Corrupt." Demikian kata Lord Acton, sejarawan Inggris terkemuka. VOC memiliki kekuasaan yang besar dan lama, VOC pun mengalami apa yang dikatakan Lord Acton. Pada 1799, secara resmi VOC dibubarkan akibat korupsi yang parah mulai dari "cacing cau" hingga Gubernur Jenderalnya. Pemerintah Belanda lalu menyita semua aset VOC untuk membayar utang-utangnya, termasuk wilayah-wilayah yang dikuasainya di Indonesia, seperti kota-kota pelabuhan penting dan pantai utara Pulau Jawa.

Selama satu abad kemudian, Hindia Belanda berusaha melakukan konsolidasi kekuasaannya mulai dari Sabang-Merauke. Namun, tentu saja tidak mudah. Berbagai perang melawan kolonialisme muncul seperti Perang Padri (1821-1837), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856), Perang di Lombok (1843-1894), Perang Puputan di Bali (1846-1908), Perang di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (1852-1908), Perlawanan di Sumatra Utara (1872-1904), Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan Perang Aceh (1873-1912).

Peperangan di seluruh Nusantara itu baru berakhir dengan berakhirnya Perang Aceh. Jadi baru setelah tahun 1912, Belanda benar-benar menjajah seluruh wilayah yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia (kecuali Timor Timur). Jangan lupa pula bahwa antara 1811-1816, Pemerintah Hindia Belanda sempat diselingi oleh pemerintahan interregnum (pengantara) Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.

Saat-saat akhir

Pada 7 Desember 1941, Angkatan Udara Jepang di bawah pimpinan Laksamana Nagano melancarkan serangan mendadak ke pangkalan angkatan laut AS di Pearl Harbour, Hawaii. Akibat serangan itu kekuatan angkatan laut AS di Timur Jauh lumpuh. AS pun menyatakan perang terhadap Jepang. Demikian pula Belanda sebagai salah satu sekutu AS menyatakan perang terhadap Jepang.

Pada 18 Desember 1941, pukul 06.30, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer melalui radio menyatakan perang terhadap Jepang. Pernyataan perang tersebut kemudian direspons oleh Jepang dengan menyatakan perang juga terhadap Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Januari 1942. Setelah armada Sekutu dapat dihancurkan dalam pertempuran di Laut Jawa maka dengan mudah pasukan Jepang mendarat di beberapa tempat di pantai utara Pulau Jawa.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memusatkan pertahanannya di sekitar pegunungan Bandung. Pada waktu itu kekuatan militer Hindia Belanda di Jawa berjumlah empat Divisi atau sekitar 40.000 prajurit termasuk pasukan Inggris, AS, dan Australia. Pasukan itu di bawah komando pasukan sekutu yang markas besarnya di Lembang dan Panglimanya ialah Letjen H. Ter Poorten dari Tentara Hindia Belanda (KNIL). Selanjutnya kedudukan Pemerintah Kolonial Belanda dipindahkan dari Batavia (Jakarta) ke Kota Bandung.

Pasukan Jepang yang mendarat di Eretan Wetan adalah Detasemen Syoji. Pada saat itu satu detasemen pimpinannya berkekuatan 5.000 prajurit yang khusus ditugasi untuk merebut Kota Bandung. Satu batalion bergerak ke arah selatan melalui Anjatan, satu batalion ke arah barat melalui Pamanukan, dan sebagian pasukan melalui Sungai Cipunagara. Batalion Wakamatsu dapat merebut lapangan terbang Kalijati tanpa perlawanan berarti dari Angkatan Udara Inggris yang menjaga lapangan terbang itu.

Pada 5 Maret 1942, seluruh detasemen tentara Jepang yang ada di Kalijati disiapkan untuk menggempur pertahanan Belanda di Ciater dan selanjutnya menyerbu Bandung. Akibat serbuan itu tentara Belanda dari Ciater mundur ke Lembang yang dijadikan benteng terakhir pertahanan Belanda.

Pada 6 Maret 1942, Panglima Angkatan Darat Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten memerintahkan Komandan Pertahanan Bandung Mayor Jenderal J. J. Pesman agar tidak mengadakan pertempuran di Bandung dan menyarankan mengadakan perundingan mengenai penyerahan pasukan yang berada di garis Utara-Selatan yang melalui Purwakarta dan Sumedang. Menurut Jenderal Ter Poorten, Bandung pada saat itu padat oleh penduduk sipil, wanita, dan anak-anak, dan apabila terjadi pertempuran maka banyak dari mereka yang akan jadi korban.

Pada 7 Maret 1942 sore hari, Lembang jatuh ke tangan tentara Jepang. Mayjen J. J. Pesman mengirim utusan ke Lembang untuk merundingkan masalah itu. Kolonel Syoji menjawab bahwa untuk perundingan itu harus dilakukan di Gedung Isola (sekarang gedung Rektorat UPI Bandung). Sementara itu, Jenderal Imamura yang telah dihubungi Kolonel Syoji segera memerintahkan kepada bawahannya agar mengadakan kontak dengan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer untuk mengadakan perundingan di Subang pada 8 Maret 1942 pagi. Akan tetapi, Letnan Jenderal Ter Poorten meminta Gubernur Jenderal agar usul itu ditolak.

Jenderal Imamura mengeluarkan peringatan bahwa "Bila pada 8 Maret 1942 pukul 10.00 pagi para pembesar Belanda belum juga berangkat ke Kalijati maka Bandung akan dibom sampai hancur." Sebagai bukti bahwa ancaman itu bukan sekadar gertakan, di atas Kota Bandung tampak pesawat-pesawat pembom Jepang dalam jumlah besar siap untuk melaksanakan tugasnya.

Melihat kenyataan itu, Letnan Jenderal Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda beserta para pembesar tentara Belanda lainnya berangkat ke Kalijati sesuai dengan tanggal dan waktu yang telah ditentukan. Pada mulanya Jenderal Ter Poorten hanya bersedia menyampaikan kapitulasi Bandung. Namun, karena Jenderal Imamura menolak usulan itu dan akan melaksanakan ultimatumnya. Akhirnya, Letnan Jenderal Ter Poorten dan Gubernur Jenderal Tjarda menyerahkan seluruh wilayah Hindia Belanda kepada Jepang tanpa syarat. Keesokan harinya, 9 Maret 1942 pukul 08.00 dalam siaran radio Bandung, terdengar perintah Jenderal Ter Poorten kepada seluruh pasukannya untuk menghentikan segala peperangan dan melakukan kapitulasi tanpa syarat.

Itulah akhir kisah penjajahan Belanda. Setelah itu Jepang pun menduduki Indonesia hingga akhirnya merdeka 17 Agustus 1945. Jepang hanya berkuasa tiga tahun lima bulan delapan hari.

Analisis

Berdasarkan uraian di atas, kita bisa menghitung berapa lama sesungguhnya Indonesia dijajah Belanda. Kalau dihitung dari 1596 sampai 1942, jumlahnya 346 tahun. Namun, tahun 1596 itu Belanda baru datang sebagai pedagang. Itu pun gagal mendapat izin dagang. Tahun 1613-1645, Sultan Agung dari Mataram, adalah raja besar yang menguasai seluruh Jawa, kecuali Banten, Batavia, dan Blambangan. Jadi, tidak bisa dikatakan Belanda sudah menjajah Pulau Jawa (yang menjadi bagian Indonesia kemudian).

Selama seratus tahun dari mulai terbentuknya Hindia Belanda pascakeruntuhan VOC (dengan dipotong masa penjajahan Inggris selama 5 tahun), Belanda harus berusaha keras menaklukkan berbagai wilayah di Nusantara hingga terciptanya Pax Neerlandica. Namun, demikian hingga akhir abad ke-19, beberapa kerajaan di Bali, dan awal abad ke-20, beberapa kerajaan di Nusa Tenggara Timur, masih mengadakan perjanjian sebagai negara bebas (secara hukum internasional) dengan Belanda. Jangan pula dilupakan hingga sekarang Aceh menolak disamakan dengan Jawa karena hingga 1912 Aceh adalah kerajaan yang masih berdaulat. Orang Aceh hanya mau mengakui mereka dijajah 33 tahun saja.

Kesimpulannya, tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Yang benar adalah, Belanda memerlukan waktu 300 tahun untuk menguasai seluruh Nusantara.

Penulis, Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad/Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat/Ketua Pusat Kebudayaan Sunda Fakultas Sastra Unpad.



Kalo menurut saya, Belanda ngga "menjajah" Indonesia. Lebih tepat kalau "menguasai" banyak wilayah di Indonesia. Kenapa? karena kerajaan2 di Indonesia bodoh2. mereka saling perang saudara dll sehingga tingkat kepastian kepemilikan wilayah jadi rendah.
Sebagai pedagang yang membutuhkan kepastian kapital, jelas lah itu sebuah kerugian besar. Kalau udah gitu, ya mending dikasih tentara aja wilayahnya supaya roda bisnis terus berputar, hehehe